Sabtu, 25 Oktober 2008

MANTAGI

Label Nasional
Oleh: Edo Virama Putra

Sejak menempuh perguruan tinggi tahun 2001 saya mulai mengenal kehidupan kampus. Saya diarahkan dalam dunia tulis menulis yang berangkat dari pemikiran. Berbagai judul buku yang ditawarkan oleh senior maupun dosen sebagai bahan bacaan untuk menambah referensi tulisan. Dan mulailah kegelisahan dalam kehidupan saya. Kegelisahan disini adalah mengamati kehidupan kampus yang begitu heterogen dalam aktivitas sebagai mahasiswa. Sebagai hasilnya terbitlah artikel pertama saya di koran lokal Padang tentang pengelompokan dikalangan mahasiswa. Ini membuat saya termotivasi membuat tulisan untuk diterbitkan di koran lain. Setelah itu mulailah gelombang pujian pada diri saya dan ini membuat saya berada di atas “singgasana”. Artikel, esai, cerpen, puisi, dan resensi bukupun tiap minggu terbit di berbagai koran lokal Padang. Lalu label penulis lokalpun tercipta dimata teman-teman yang bergelut dalam dunia tulis menulis. Dan bagaimana dengan label nasional?
Persoalan label nasional merupakan status dimata kawan-kawan sesama penulis dan juga masyarakat yang menyukainya. Ia kebanggaan yang”menggairahkan” untuk menjadikan diri sebagai manusia intelek. Tapi disisi lain membuat label “penulis” nasional menjadi bahan pengkultusan terhadap diri seseorang. Bahkan label nasional menjadi “prestise”. Ketika terbit tulisan seseorang di media nasional maka ia langsung di label nasional. Walaupun tulisannya (artikel, esai, cerpen, puisi, resensi, feature, dan lainnya) tidak membawa dampak bagi pembaca. Sebagai penulis yang masih “lokal” saya menilai itu hanya persolaan biasa. Tapi akhir-akhir ini para penulis muda Sumatra Barat lagi naik daun di media nasional. Dan membuat diri menjadi lupa dan narsis. Seorang teman dari Jogja yang kebetulan perantau, dan penulis juga, berkata”penulis dari Padang di media nasional begitu dahsyat, tapi mereka tidak membaca kepentingan redaktur media tersebut”. Ada yang ganjil terasa dari kata saudara dari Jogja ini. Ia sepertinya memperingatkan pada saya tentang sesuatu. Ada hal yang tersimpan dari katanya. Pada media nasional telah terselubung rencana sebuah”komunitas” untuk menguasai wacana kesusastraan Indonesia. Mereka menyelipkan kader-kadernya melalui media nasional sebagai redaktur, sehingga hegemoni komunitas itu berlanjut secara mulus. Saya mengerti maksud saudara dari Jogja tadi; hati-hati dan jangan jadi tujuan kebanggaan media nasional. Untunglah saya senang”membaca pikiran dibalik pikiran, membaca makna dibalik makna”, kalau tidak saya akan terjebak dalam hegemoni komunitas yang akan “menguasai” kesusastraan Indonesia. Melangkah kedepan, seharusnya penulis muda Sumbar mulai merenungi dan menemukan solusi yang jitu bagi perkembangan kretivitas menulis. Perenungan disini merupakan hal-hal yang menyangkut karya yang dihasilkan berkualitas dan bermanfaat bagi umat manusia,dan bukan karya”kebut semalam”, membatasi diri menjadi penulis netral dimata masyarakat Sumbar dan daerah lain yang bertujuan memajukan kesusastraan Indonesia. Menemukan solusi jitu; hendaklah penulis Sumbar menemukan ruang baru dalam penerbitan karya. Tidak berpatokan pada media nasioanal lagi. Semoga.

Penulis adalah pekerja prosa tinggal di Luhak Agam

Tidak ada komentar: