Sabtu, 25 Oktober 2008

BUDAYA

Apakah
Penting Budaya Sendiri?
( Minangkabau)
Oleh: Firmansyah

Sudah sepatutnya sekarang ini segala pihak bergerak untuk merevitalisasi seni dan budaya yang kita miliki (Minangkabau). Saat ini banyak seni dan budaya tradisi menghadapi dilema, sangat sedikit dari masyarakat Minangkabau untuk mengangkat kembali seni dan budaya tradisi. Ironisnya yang menghidupkan walaupun dengan sederhana tetapi berhasil adalah kelompok atau komunitas kecil.
Mahasiswa yang dibanggakan untuk kemaslahatan bangsa dan negara nampaknya terlalu sibuk dengan sikap acuh tak acuh terhadap identitas yang di miliki sebagai “urang minang”, mereka hanya mementingkan diri mereka tanpa mengindahkan tentang seni dan budaya yang mereka punya. Tri dharma perguruan tinggi menyebutkan bahwa kaum intelektual tidak hanya mengenyam pendidikan saja tetapi wajib mengabdikan diri mereka kepada masyarakat. Dalam hal ini untuk pengabdiannya kepada masyarakat bisa dengan mengangkat kembali seni dan budaya. Pada umumnya mahasiswa sekarang ini mementingkan pendidikan semata yang implikasinya adalah ingin cepat tamat, IP tinggi dan akhirnya dapat ijazah, setelah itu pengangguran.
Beberapa institusi pendidikan yang berada di Sumatra Barat tepatnya di kota Padang, sangat minim sekali program dari pihak institusi tersebut menyangkut seni dan budaya lokal ( Minangkabau ). Dapat dilihat hanya fakultas dan jurusan yang menyangkut seni dan budaya lokal mempunyai program studi ini. Di fakultas-fakultas dan jurusan yang lain tidak diberikan program studi seni dan budaya lokal sebagai contohnya adalah mata pelajaran Kebudayaan Minangkabau.perlu dipertanyakan dimana rasa memiliki itu. Nampaknya pendidikan pun berkiblat ke barat dan melupakan pendidikan berasal daerah sendiri. Di mana muka ini akan diletakkan, apabila masyarakat luar bertanya dengan seni dan budaya kita, yang dikenal “ndak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan”
Pemerintah tidak ada mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang signifikan untuk mengangkat seni dan budaya, tidak ada peraturan/kebijakan yang menyaring kebudayaan luar yang masuk ke daerah ini. Mengakibatkan kaum muda pada umumnya remaja (termasuk mahasiswa) menelan mentah-mentah kebudayaan/seni berasal dari luar itu, dengan bangga mereka katakan ini adalah trendi masa sekarang dan pada saat itu pula mereka telah mengesampingkan identitas mereka. Kalau dibilang dari segi manfaatnya sangat sedikit ditemukan. Walaupun ada, hanya segelintir saja ditemukan.
Namun seharusnya kita bertanya-tanya kepada diri kita masing-masing, apakah penyebab dari pudarnya “raso jo pareso” terhadap seni dan budaya Minangkabau yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Sudah pasti banyak manfaat tersimpan, manfaat secara sengaja di masukkan oleh pendahulu kita berangkat dari falsafah “alam takambang jadi guru”. Di satu sisi lain seni tradisi ini merupakan bagian dari khasanah kebudayaan Minangkabau Kalau kita mengadakan penelitian kepada kaum muda (mahasiswa dan remaja), sejauh mana mereka mengetahui dan memahami seni dan budaya yang mereka miliki, dapat dipastikan hasilnya adalah paling mengetahui seni yang marak berkembang sekarang, seni yang berasal dari luar. Daripada mengenal seni dan kebudayaan sendiri seperti saluang, tansa, talempong, rabab, dsb. Mungkin mereka menganggap seni tradisi ini kuno atau kolot.
Bukan masud saya menyalahkan kaum muda yang lebih mengenal seni yang berasal dari kebudayaan luar dan tidak menyalahkan seni itu sendiri akan tetapi yang penulis lihat adalah sikap dari kaum muda sebagai agent of change di masa yang akan datang lebih mengenal seni dan budaya luar. Kaum muda (mahasiswa) harus bercermin, melihat siapa?, apa?, dan bagaimana seharusnya sikap terhadap seni dan budaya tradisi Minangkabau?. Di zaman tidak liberal namun pada realitanya sangat liberal sekali akibatnya rapuhnya pondasi yang dimiliki ditambah lagi arus modrenisasi merambah “rumah indah” ini, memaksa harus mempunyai tameng yang kuat agar apa yang sudah kita miliki ini dapat bertahan.
Media massa sebagai sarana atau wadah komunikasi yang menyebarluaskan informasi-informasi adalah sebuah harapan untuk dalam proses merevitalisasikan seni dan budaya Minangkabau. Dengan mengadakan acara-acara dan informasi mengangkat citra seni dan budaya Minangkabau. Walaupun demikian pihak-pihak yang sangat penting harus juga ada program dalam proses merevitalisasikan seni tradisi, dalam hal ini pihak pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk pelajar dan mahasiswa dalam pengembangan dan mempertahankan seni dan budaya Minangkabau.
Pada dasarnya bukan dibebankan kepada kaum muda saja (pelajar dan mahasiswa) masyarakat juga sebagai penikmat seni tradisi juga sangat berperan penting. Kehidupan masyarakat saat sekarang ini memang sangat memprihatinkan akibat kebijakan politik pemerintah. Sebaliknya masyarakat yang bergelimang harta terlalu sibuk dalam paham materialismenya, tidak mementingkan hal yang seperti ini --- walaupun tidak semuanya bersifat demikian. Inilah gejala sosial ditemukan saat sekarang ini mengakibatkan bukan kaum muda saja yang bersifat tidak mau tahu kepada seni tradisi --- apatisme, sebagian masyarakat pun bersifat demikian.
Kenyataan di lapangan terdapat perkumpulan/komunitas kecil satu daerah masyarakat Minangkabau, dalam perkumpulan tersebut mereka mempunyai kelompok kesenian secara tidak langsung telah menghidupkan kembali seni tradisi. Ironis memang kelompok/persatuan satu daerah yang notabene kehidupan mereka sederhana sedangkan kaum muda (pelajar dan mahasiswa) sangat tidak antusias.
Menanggapi tulisan Indra Utama ( Padang ekspres, Minggu 25 mei 2008 ). Ekspresi seni masyarakat rumah tangga miskin kampung pasia Kabupaten Pesisir Selatan. Tulisan ini memaksa kita memeras di mana rasa mempuyai seni. Mereka (masyarakat kampung pasia ) dengan label RUMAH TANGGA MISKIN terpampang di rumah mereka, mereka tidak surut mengapresiasikan kesenian yang mereka miliki.
Dari beberapa kasus yang ditemukan dalam masyarakat sekarang, sangat signifikan pergeseran-pergeseran sikap yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Dari pergeseran sikap maupun mentalitas. Dalam kasus ini pergeseran sikap dan mentalitas sangat dominan merambah kaum muda (Pelajar dan Mahasiswa). Modernisasi dalam bidang seni, yaitu banyaknya kaum muda kita lebih mengambil hal yang baru atau yang sedang populer. Menjamurnya musik konvensional sepeti band-band dan baru-baru ini sudah berkembang “break dance” yang berisikan adalah kaum muda. Mereka sering beranggapan dengan kegiatan ini akan membuat mereka menjadi senang, mendapat hal yang baru. Memang tidak ada salahnya mengambil sesuatu baru, akan tetapi kaum muda kita ini terlalu menyibukkan diri dan langsung menyeburkan diri. Akibatnya, seni yang telah ada atau seni yang turun-temurun dari nenek moyang kita sekaligus menjadi identitas diri (Minangkabau) kalah pamor dengan hal yang baru tersebut. Kalau kita korek lebih dalam penyebabnya tidak lain tidak bukan sikap dan mental kita (kaum muda) sudah rapuh. Kerapuhan tersebut sangat mudah sekali membuat sikap dan mentalitas itu bergeser. Modern adalah produk dari bangsa barat. Kita merupakan bangsa timur hanya menjadi konsumen mereka saja. Sebagai konsumen kita memang harus pintar-pintar memilih mana yang sangat cocok dengan situasi dan kondisi seperti sekarang ini.
Apa perlu kita bertanya, kenapa harus mengutamakan kembali seni yang terdapat di negeri ini (Minangkabau). Dari beberapa fenomena yang jelas tampak di masa sekarang ini,fenomena yang memaksa kita untuk berpikir mendalam tentang arti dan manfaat seni dan budaya bagi kita semua (masyarakat Minangkabau).Tidak perlu pula penulis mengutarakan apa itu budaya Minangkabau karena walaupun sedikit banyaknya pengetahuan tentang budaya, penulis yakin masyarakat telah mengetahui. Sebenarnya membicarakan Minangkabau bukan chauvinistik atau fanatisme ke daerahan ( Hidayat. T, Sikumbang, Singgalang 11 Juni 2008).
Apakah banyak kaum muda kita yang mengetahui identitas mereka sebagai penerus seni dan budaya Minangkabau, seandainya saja banyak apa buktinya?. Dimana peran keluarga, masyarakat, lembaga adat dan pemerintah yang “menyuapkan” arti “identitas”. Seni dan budaya Minangkabau salah satu dari sekian cara untuk membangun kembali serpihan-serpihan identitas yang berserakan. Apakah keluarga ada memberi “makanan” seni dan budaya Minangkabau kepada kaum muda ?. Masyarakat dan lembaga adat ada berperan untuk memberi sedikit suapan seni dan budaya kepada kaum muda. Harapan terakhir kepada pemerintah sebagai penguasa dalam pemberi kebijakan kepada masyarakatnya ( pelajar dan mahasiswa ) untuk melestarikan seni dan budaya Minangkabau yang tercinta ini. Lebih jauh dari itu, adakah program dari pemerintah --- dalam hal ini berat kepada dinas pendidikan, memberi asupan pendidikan seni dan budaya kepada pelajar dan mahasiswa non Minangkabau. Bertujuan agar seni dan budaya ini adalah milik kita agar jangan lagi seni dan budaya kita di-paten-kan lagi. Krisis dan krisis itulah yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, penulis juga merasakan sendiri. Apakah harapan kita ( masyarakat Minangkabau ) untuk ke depannya. Seni dan budaya tradisional adalah satu dari sekian banyak hal-hal untuk membangun identitas diri kaum muda, kaum muda yang kekosongan jiwa.
Apakah karena sikap masyarakat Minangkabau sekarang ini, sikap apatisme, materilistisme, skaptisme, dsb. Mendorong masyarakat Minangkabau melakukan begitu saja melupakan kebudayaan sendiri. Secara umum daerah kita ( daerah timur ) memang daerah jajahan kolonial bangsa barat dari dulu sampai saat ini. Jajahan itu meliputi tidak hanya perekonomian, politik, seni budaya malahan masuk dalam alam pikiran masyarakat kita. Apakah pemikiran masyarakat Minangkabau memang sudah terkontaminasi dengan berbagai hal yang berbau produk barat?. Wauallahuallam.


Kandangpadati,20 juli 2008

Firman Sy Chaniago, Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas sastra Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2007




MANTAGI

Label Nasional
Oleh: Edo Virama Putra

Sejak menempuh perguruan tinggi tahun 2001 saya mulai mengenal kehidupan kampus. Saya diarahkan dalam dunia tulis menulis yang berangkat dari pemikiran. Berbagai judul buku yang ditawarkan oleh senior maupun dosen sebagai bahan bacaan untuk menambah referensi tulisan. Dan mulailah kegelisahan dalam kehidupan saya. Kegelisahan disini adalah mengamati kehidupan kampus yang begitu heterogen dalam aktivitas sebagai mahasiswa. Sebagai hasilnya terbitlah artikel pertama saya di koran lokal Padang tentang pengelompokan dikalangan mahasiswa. Ini membuat saya termotivasi membuat tulisan untuk diterbitkan di koran lain. Setelah itu mulailah gelombang pujian pada diri saya dan ini membuat saya berada di atas “singgasana”. Artikel, esai, cerpen, puisi, dan resensi bukupun tiap minggu terbit di berbagai koran lokal Padang. Lalu label penulis lokalpun tercipta dimata teman-teman yang bergelut dalam dunia tulis menulis. Dan bagaimana dengan label nasional?
Persoalan label nasional merupakan status dimata kawan-kawan sesama penulis dan juga masyarakat yang menyukainya. Ia kebanggaan yang”menggairahkan” untuk menjadikan diri sebagai manusia intelek. Tapi disisi lain membuat label “penulis” nasional menjadi bahan pengkultusan terhadap diri seseorang. Bahkan label nasional menjadi “prestise”. Ketika terbit tulisan seseorang di media nasional maka ia langsung di label nasional. Walaupun tulisannya (artikel, esai, cerpen, puisi, resensi, feature, dan lainnya) tidak membawa dampak bagi pembaca. Sebagai penulis yang masih “lokal” saya menilai itu hanya persolaan biasa. Tapi akhir-akhir ini para penulis muda Sumatra Barat lagi naik daun di media nasional. Dan membuat diri menjadi lupa dan narsis. Seorang teman dari Jogja yang kebetulan perantau, dan penulis juga, berkata”penulis dari Padang di media nasional begitu dahsyat, tapi mereka tidak membaca kepentingan redaktur media tersebut”. Ada yang ganjil terasa dari kata saudara dari Jogja ini. Ia sepertinya memperingatkan pada saya tentang sesuatu. Ada hal yang tersimpan dari katanya. Pada media nasional telah terselubung rencana sebuah”komunitas” untuk menguasai wacana kesusastraan Indonesia. Mereka menyelipkan kader-kadernya melalui media nasional sebagai redaktur, sehingga hegemoni komunitas itu berlanjut secara mulus. Saya mengerti maksud saudara dari Jogja tadi; hati-hati dan jangan jadi tujuan kebanggaan media nasional. Untunglah saya senang”membaca pikiran dibalik pikiran, membaca makna dibalik makna”, kalau tidak saya akan terjebak dalam hegemoni komunitas yang akan “menguasai” kesusastraan Indonesia. Melangkah kedepan, seharusnya penulis muda Sumbar mulai merenungi dan menemukan solusi yang jitu bagi perkembangan kretivitas menulis. Perenungan disini merupakan hal-hal yang menyangkut karya yang dihasilkan berkualitas dan bermanfaat bagi umat manusia,dan bukan karya”kebut semalam”, membatasi diri menjadi penulis netral dimata masyarakat Sumbar dan daerah lain yang bertujuan memajukan kesusastraan Indonesia. Menemukan solusi jitu; hendaklah penulis Sumbar menemukan ruang baru dalam penerbitan karya. Tidak berpatokan pada media nasioanal lagi. Semoga.

Penulis adalah pekerja prosa tinggal di Luhak Agam

ESAI TEATER

ARISAN PEMENTASAN
Oleh: Edo Virama Putra

“Tujuan seorang aktor adalah pempergunakan tekniknya
untuk merubah lakon itu menjadi aktualitas
teater(Konstantin Stanislavski)”

Dunia panggung merupakan media pembelajaran yang sangat efisien dalam kehidupan manusia. Panggung dijadikan ruang ekpresi dunia keaktoran. Dan mulailah gelombang keasyikan manusia menekuninya. Salah satunya kelompok drama Sastra Inggris Unand, yang mementaskan beberapa judul naskah dari dramawan ternama. Pementasan dari tanggal 28-30 Juni 2008 banyak mengundang polemik yang menjurus pada”hujan” air mata. Tak terbendung. Hanya beberapa nasihat dari senior mereka yang telah makan asam dunia teater.

Pementasan kali ini menampilkan 14 kelompok drama. Dari pementasan tersebut tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Hari pertama, pagi hari disajikan”Ladies For Not Burning” yang menjagokan aktornya Boby. Tapi sajiannya terkesan”boros” dalam penggunaan properti di panggung. Aktornya (Boby) terkesan mematikan permainan kawan sepanggung. Kemudian kelompok yang “menonjolkan” kostum mahal; Anthony And Cleopatra. Pementasan mereka dari awal boleh dibilang mengundang perhatian penonton, tapi panggung kelihatan sepi dari kurangnya vokal para pemain. Gambaran karakter Cleopatra terkesan dingin dan jauh dari yang diharapkan. Serta permainan kolosal ini membuat komposisi panggung chaos. Hari kedua, “The Sea Gull” muncul dengan keanggunan. Maklum naskah yang dipentaskan karya Anton Checkov, dramawan Rusia yang terkenal. Seting dan properti minimalis, dan keaktoran ditonjolkan sekali. Berlanjut dengan “A Doll House” yang propertinya”membludak” di panggung dan masih terlihat konsep yang kacau. Lalu “King Lear” tampil dengan pede; minim properti, tampil seadanya. Dan kelompok inipun jauh dari yang diharapkan. Hari ketiga sajian pementasan masih menampilkan hal-hal yang merusak komposisi panggung. Tapi lain dari yang lain. Kelompok Red Cassava dengan naskah “Frankenstein” memukau penonton. Anak asuh Faiz Muhammad ini boleh dibilang memenuhi standar pementasan teater secara keseluruhan. Dari segi keaktoran, banyak aktor/aktris kelompok ini memainkan karakter secara total seperti apa yang dikatakan oleh Konstantin Stanislavski diatas. Seorang aktor mampu memainkan tokohnya dan melepaskan diri dari karakter asli, sehingga menyatu dalam karakter baru dan panggung menjadi hidup. Selain keaktoran, segi artistik panggung, mereka boleh diacungkan jempol. Panggung begitu”hidup” dengan blocking dan grouping yang dihadirkan aktor-aktor Frankenstein. Ketika menuju klimak cerita, suasana serius, dan seram, terjadi”kecelakaan” cerita, dimana seorang aktor(Captain) membikin suasana panggung jadi turun. Dan penonton jadi tertawa. Kalaupun boleh ditilik secara objektif, karakter Captain membuat mati permainan aktor lainnya. Mungkin bukan aktor yang harus disalahkan, tapi sutradaranya sendiri. Konsep penyelesaian yang terlalu buru-buru dan belum matang. Yang jelas mereka telah menampilkan yang terbaik dari proses latihan panjang.
Pementasan usai, dan masing-masing kelompok menunggu putusan juri yang menilai pementasan drama dengan beberapa kategori penghargaan. Diantaranya aktor terbaik, aktris terbaik, aktor/aktris pendukung terbaik, drama terbaik, kostum terbaik, bahasa terbaik, dan artistik terbaik. Penghargaan yang diberikan kepada 8 kelompok akhirnya menuai protes. Ada kelompok yang tak layak menyandang salah satu penghargaan diatas, namun keputusan juri tak bisa diganggu gugatlagi. Yang bisa menjadi tanda tanya besar adalah seberapa jauh pengalaman juri di dunia drama(Gindo Rizano, Marliza Yeni, dan Edria Sandika)? Dan ketika proses pementasan kenapa juri “melihat” teks drama saja? Lalu kenapa kelompok Red Cassava (Frankenstein) yang banyak meraih nominasi tak satupun menyabet penghargaan diatas? Jawaban untuk Frankenstein tak perlu pada juri yang menilai pementasan ini. Cukuplah penonton yang ketika itu memberikan sambutan heboh dari awal hing akhir pementasan Frankenstein. Secara dramaturgi kelompok ini berhak memperolehnya, dan bahkan memenuhi kelayakan sebuah pementasan teater. Anggaplah peristiwa ini sebagai”Arisan Pementasan”, dimana penghargaan telah dibagi secara bergilir. Sehingga 5 kelompok terpaksa sabar menerima keputusan juri.
Melihat kembali usaha yang dilakukan kelompok drama Sastra Inggris Unand merupakan gebrakan sejarah bagi angkatan 2005. Sebab sebelumnya pementasan sering dilakukan di kampus Unand yang tidak memiliki gedung teater. Apalagi masing-masing kelompok memiliki potensi besar untuk melanjutkan kesenian (teater). Banyak bakat terpendam yang belum terungkap, sehingga butuh penyaluran yang pasti. Ini barangkali kegagalan pementasan tahun lalu yang banyak”hujatan” di milis dan bahkan langsung pada dosen yang memegang mata kuliah drama. Serta berimbas pada acara Literary Basic Training awal tahun 2008. Banyak peserta yang tidak datang akibat”doktrin” jelek yang ditanamkan oleh segelintir oknum. Untuk kedepan , saya berharap terjadi peningkatan pada pementasan drama 2009. Dan itupun dinilai oleh kalangan yang berpengalaman di dunia dramaturgi(teater). Yang jelas dalam kesenian tali persahabatan dirajut dan tak ada dendam lagi diantara kelompok drama yang tampil. Jangan jadikan penghargaan sebagai patokan, tapi proses yang lebih utama. Semoga!

Penulis adalah kritikus teater, dan aktif di Komunitas Perenial

ESAI TEATER















Antra Teror Dan Konteks

Oleh: Edo Virama Putra
Panggung teater Sumatera Barat tak kenal kata “sepi”. Setiap proses pertunjukan seni, gedung teater Taman Budaya Sumbar menjadi pilihan. Salah satu pementasan yang dinantikan yaitu pementasan dari STSI Padangpanjang. Minggu malam 27 Juli 2008, gedung Teater Utama Taman Budaya Sumbar mulai dimasuki para penonton dari berbagai kalangan. Kali ini pementasan yang ditampilkan mengusung karya William Saroyan dengan judul “Hello Out There atawa Dalam Penjara”. Pementasan yang disutradarai oleh Tatang R Macan ini membawa penonton kedunia lain “sebuah tafsir bebas terhadap teks Saroyan” katanya. Malam itu pementasan diawali degan tampilan sebuah video, lalu berlanjut dengan music yang menjadi focus beberapa penonton. Kemudian empat aktor dengan keganasannya membuat teror yang begitu mencekam bagi penonton. Sehingga properti yang dipakai berupa cemeti rantai yang diayunkan ke penjara besi putus dan memantul pada salah seorang penonton. Dan teror ini berlanjut pada sepasang suami istri disamping penulis yang berusaha mendiamkan tangisan anaknya akibat “teror” aktor Tatang R Macan.
Teks lakon William Saroyan merupakan refleksi pasca perang dunia dua di Amerika Serikat. Karyanya cendrung gabungan optimisme, sentimentalitas, dan kecintaan pada tanah air. Pasca perang dunia dua Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang berimbas pada kondisi psikologi masyarakatnya. Dan membuat masyarakatnya tertatih-tatih menuju kondisi mapan. Ketika teks lakon Hello Out There ditafsirkan secara bebas oleh Tatang R Macan kedalam konteks kekinian(Indonesia), jauh dari yang diharapkan. Tidak adak titik temu ketika “tafsir”bebas itu muncul. Yang ada hanyalah eksplorasi panggung secara visual ala Tatang R Macan. Kehadiran tokoh pemuda, gadis, suara, dan empat geng laki-laki adalah representasi teror sang sutradara dari lakon ini. Suara-suara membuat pemuda berada dalam teror, sehingga pemuda tampil dalam keaktoran yang turun naik. Dialog yang muncul adalah keterasingan dari lingkungan penjara. Penjara yang dikonstruksi dalam bentuk pikiran dan visual menjadi lebih elegan disandingkan dengan penampilan si gadis. Dan si gadis pun mengalami hal yang sama dengan pemuda ketika suara-suara menjelma jadi teror. Tafsir bebas sutradara akhirnya membawa keterpurukan budaya anak muda perkotaan yang amburadul dengan desa yang masih virgin. Bahkan ini mengarah pada pemberontakan dalam lingkungan sosial perkotaan.
Secara tekhnis, bentuk visual yang ditampilkan Tatang telah menghadirkan sesuatu yang baru dan menyegarkan. Sehingga penonton masih setia sampai akhir pementasan. Lalu ketika teks ditafsirkan kedalam bentuk baru; wilayah kebebasan, seorang Tatang menuju jalan buntu. Sutradara memang jago dalam visual panggung dan masih jauh dalam penafsiran. Ketika teks Saroyan dikupas kedalam konteks kekinian, berupa budaya urban Indonesia boleh dibilang masih dalam taraf “mendekati”. Tapi kondisi real teks diluncurkan tahun 1942 tentu jauh dari visi seorang William Saroyan yang mengusung pencitraan Amerika Serikat pasca perang dunia dua. Bebeda dengan Tatang yang mengadaptasinya kedalam konteks kekinian. Sehingga hasil yang disampaikan kepada penonton adalah teror semata. Tafsir bebas yang meminggirkan teks asli menjadi daya tarik pementasan kali ini. Dan gedung Teater Utama Taman Budaya didaulat sebagai tempat yang cocok untuk pementasan setelah direnovasi interiornya. Setidaknya apa yang disajikan Tatang R Macan menjadi tolak ukur untuk sesuatu yang baru bagi pementasan selanjutnya. Semoga !
Penulis adalah kritikus teater, aktif di Komunitas Perenial, serta hadir di