Sabtu, 25 Oktober 2008

ESAI TEATER















Antra Teror Dan Konteks

Oleh: Edo Virama Putra
Panggung teater Sumatera Barat tak kenal kata “sepi”. Setiap proses pertunjukan seni, gedung teater Taman Budaya Sumbar menjadi pilihan. Salah satu pementasan yang dinantikan yaitu pementasan dari STSI Padangpanjang. Minggu malam 27 Juli 2008, gedung Teater Utama Taman Budaya Sumbar mulai dimasuki para penonton dari berbagai kalangan. Kali ini pementasan yang ditampilkan mengusung karya William Saroyan dengan judul “Hello Out There atawa Dalam Penjara”. Pementasan yang disutradarai oleh Tatang R Macan ini membawa penonton kedunia lain “sebuah tafsir bebas terhadap teks Saroyan” katanya. Malam itu pementasan diawali degan tampilan sebuah video, lalu berlanjut dengan music yang menjadi focus beberapa penonton. Kemudian empat aktor dengan keganasannya membuat teror yang begitu mencekam bagi penonton. Sehingga properti yang dipakai berupa cemeti rantai yang diayunkan ke penjara besi putus dan memantul pada salah seorang penonton. Dan teror ini berlanjut pada sepasang suami istri disamping penulis yang berusaha mendiamkan tangisan anaknya akibat “teror” aktor Tatang R Macan.
Teks lakon William Saroyan merupakan refleksi pasca perang dunia dua di Amerika Serikat. Karyanya cendrung gabungan optimisme, sentimentalitas, dan kecintaan pada tanah air. Pasca perang dunia dua Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang berimbas pada kondisi psikologi masyarakatnya. Dan membuat masyarakatnya tertatih-tatih menuju kondisi mapan. Ketika teks lakon Hello Out There ditafsirkan secara bebas oleh Tatang R Macan kedalam konteks kekinian(Indonesia), jauh dari yang diharapkan. Tidak adak titik temu ketika “tafsir”bebas itu muncul. Yang ada hanyalah eksplorasi panggung secara visual ala Tatang R Macan. Kehadiran tokoh pemuda, gadis, suara, dan empat geng laki-laki adalah representasi teror sang sutradara dari lakon ini. Suara-suara membuat pemuda berada dalam teror, sehingga pemuda tampil dalam keaktoran yang turun naik. Dialog yang muncul adalah keterasingan dari lingkungan penjara. Penjara yang dikonstruksi dalam bentuk pikiran dan visual menjadi lebih elegan disandingkan dengan penampilan si gadis. Dan si gadis pun mengalami hal yang sama dengan pemuda ketika suara-suara menjelma jadi teror. Tafsir bebas sutradara akhirnya membawa keterpurukan budaya anak muda perkotaan yang amburadul dengan desa yang masih virgin. Bahkan ini mengarah pada pemberontakan dalam lingkungan sosial perkotaan.
Secara tekhnis, bentuk visual yang ditampilkan Tatang telah menghadirkan sesuatu yang baru dan menyegarkan. Sehingga penonton masih setia sampai akhir pementasan. Lalu ketika teks ditafsirkan kedalam bentuk baru; wilayah kebebasan, seorang Tatang menuju jalan buntu. Sutradara memang jago dalam visual panggung dan masih jauh dalam penafsiran. Ketika teks Saroyan dikupas kedalam konteks kekinian, berupa budaya urban Indonesia boleh dibilang masih dalam taraf “mendekati”. Tapi kondisi real teks diluncurkan tahun 1942 tentu jauh dari visi seorang William Saroyan yang mengusung pencitraan Amerika Serikat pasca perang dunia dua. Bebeda dengan Tatang yang mengadaptasinya kedalam konteks kekinian. Sehingga hasil yang disampaikan kepada penonton adalah teror semata. Tafsir bebas yang meminggirkan teks asli menjadi daya tarik pementasan kali ini. Dan gedung Teater Utama Taman Budaya didaulat sebagai tempat yang cocok untuk pementasan setelah direnovasi interiornya. Setidaknya apa yang disajikan Tatang R Macan menjadi tolak ukur untuk sesuatu yang baru bagi pementasan selanjutnya. Semoga !
Penulis adalah kritikus teater, aktif di Komunitas Perenial, serta hadir di

Tidak ada komentar: