Sabtu, 25 Oktober 2008

ESAI TEATER

ARISAN PEMENTASAN
Oleh: Edo Virama Putra

“Tujuan seorang aktor adalah pempergunakan tekniknya
untuk merubah lakon itu menjadi aktualitas
teater(Konstantin Stanislavski)”

Dunia panggung merupakan media pembelajaran yang sangat efisien dalam kehidupan manusia. Panggung dijadikan ruang ekpresi dunia keaktoran. Dan mulailah gelombang keasyikan manusia menekuninya. Salah satunya kelompok drama Sastra Inggris Unand, yang mementaskan beberapa judul naskah dari dramawan ternama. Pementasan dari tanggal 28-30 Juni 2008 banyak mengundang polemik yang menjurus pada”hujan” air mata. Tak terbendung. Hanya beberapa nasihat dari senior mereka yang telah makan asam dunia teater.

Pementasan kali ini menampilkan 14 kelompok drama. Dari pementasan tersebut tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Hari pertama, pagi hari disajikan”Ladies For Not Burning” yang menjagokan aktornya Boby. Tapi sajiannya terkesan”boros” dalam penggunaan properti di panggung. Aktornya (Boby) terkesan mematikan permainan kawan sepanggung. Kemudian kelompok yang “menonjolkan” kostum mahal; Anthony And Cleopatra. Pementasan mereka dari awal boleh dibilang mengundang perhatian penonton, tapi panggung kelihatan sepi dari kurangnya vokal para pemain. Gambaran karakter Cleopatra terkesan dingin dan jauh dari yang diharapkan. Serta permainan kolosal ini membuat komposisi panggung chaos. Hari kedua, “The Sea Gull” muncul dengan keanggunan. Maklum naskah yang dipentaskan karya Anton Checkov, dramawan Rusia yang terkenal. Seting dan properti minimalis, dan keaktoran ditonjolkan sekali. Berlanjut dengan “A Doll House” yang propertinya”membludak” di panggung dan masih terlihat konsep yang kacau. Lalu “King Lear” tampil dengan pede; minim properti, tampil seadanya. Dan kelompok inipun jauh dari yang diharapkan. Hari ketiga sajian pementasan masih menampilkan hal-hal yang merusak komposisi panggung. Tapi lain dari yang lain. Kelompok Red Cassava dengan naskah “Frankenstein” memukau penonton. Anak asuh Faiz Muhammad ini boleh dibilang memenuhi standar pementasan teater secara keseluruhan. Dari segi keaktoran, banyak aktor/aktris kelompok ini memainkan karakter secara total seperti apa yang dikatakan oleh Konstantin Stanislavski diatas. Seorang aktor mampu memainkan tokohnya dan melepaskan diri dari karakter asli, sehingga menyatu dalam karakter baru dan panggung menjadi hidup. Selain keaktoran, segi artistik panggung, mereka boleh diacungkan jempol. Panggung begitu”hidup” dengan blocking dan grouping yang dihadirkan aktor-aktor Frankenstein. Ketika menuju klimak cerita, suasana serius, dan seram, terjadi”kecelakaan” cerita, dimana seorang aktor(Captain) membikin suasana panggung jadi turun. Dan penonton jadi tertawa. Kalaupun boleh ditilik secara objektif, karakter Captain membuat mati permainan aktor lainnya. Mungkin bukan aktor yang harus disalahkan, tapi sutradaranya sendiri. Konsep penyelesaian yang terlalu buru-buru dan belum matang. Yang jelas mereka telah menampilkan yang terbaik dari proses latihan panjang.
Pementasan usai, dan masing-masing kelompok menunggu putusan juri yang menilai pementasan drama dengan beberapa kategori penghargaan. Diantaranya aktor terbaik, aktris terbaik, aktor/aktris pendukung terbaik, drama terbaik, kostum terbaik, bahasa terbaik, dan artistik terbaik. Penghargaan yang diberikan kepada 8 kelompok akhirnya menuai protes. Ada kelompok yang tak layak menyandang salah satu penghargaan diatas, namun keputusan juri tak bisa diganggu gugatlagi. Yang bisa menjadi tanda tanya besar adalah seberapa jauh pengalaman juri di dunia drama(Gindo Rizano, Marliza Yeni, dan Edria Sandika)? Dan ketika proses pementasan kenapa juri “melihat” teks drama saja? Lalu kenapa kelompok Red Cassava (Frankenstein) yang banyak meraih nominasi tak satupun menyabet penghargaan diatas? Jawaban untuk Frankenstein tak perlu pada juri yang menilai pementasan ini. Cukuplah penonton yang ketika itu memberikan sambutan heboh dari awal hing akhir pementasan Frankenstein. Secara dramaturgi kelompok ini berhak memperolehnya, dan bahkan memenuhi kelayakan sebuah pementasan teater. Anggaplah peristiwa ini sebagai”Arisan Pementasan”, dimana penghargaan telah dibagi secara bergilir. Sehingga 5 kelompok terpaksa sabar menerima keputusan juri.
Melihat kembali usaha yang dilakukan kelompok drama Sastra Inggris Unand merupakan gebrakan sejarah bagi angkatan 2005. Sebab sebelumnya pementasan sering dilakukan di kampus Unand yang tidak memiliki gedung teater. Apalagi masing-masing kelompok memiliki potensi besar untuk melanjutkan kesenian (teater). Banyak bakat terpendam yang belum terungkap, sehingga butuh penyaluran yang pasti. Ini barangkali kegagalan pementasan tahun lalu yang banyak”hujatan” di milis dan bahkan langsung pada dosen yang memegang mata kuliah drama. Serta berimbas pada acara Literary Basic Training awal tahun 2008. Banyak peserta yang tidak datang akibat”doktrin” jelek yang ditanamkan oleh segelintir oknum. Untuk kedepan , saya berharap terjadi peningkatan pada pementasan drama 2009. Dan itupun dinilai oleh kalangan yang berpengalaman di dunia dramaturgi(teater). Yang jelas dalam kesenian tali persahabatan dirajut dan tak ada dendam lagi diantara kelompok drama yang tampil. Jangan jadikan penghargaan sebagai patokan, tapi proses yang lebih utama. Semoga!

Penulis adalah kritikus teater, dan aktif di Komunitas Perenial

Tidak ada komentar: