Apakah
Penting Budaya Sendiri?
( Minangkabau)
Oleh: Firmansyah
Sudah sepatutnya sekarang ini segala pihak bergerak untuk merevitalisasi seni dan budaya yang kita miliki (Minangkabau). Saat ini banyak seni dan budaya tradisi menghadapi dilema, sangat sedikit dari masyarakat Minangkabau untuk mengangkat kembali seni dan budaya tradisi. Ironisnya yang menghidupkan walaupun dengan sederhana tetapi berhasil adalah kelompok atau komunitas kecil.
Mahasiswa yang dibanggakan untuk kemaslahatan bangsa dan negara nampaknya terlalu sibuk dengan sikap acuh tak acuh terhadap identitas yang di miliki sebagai “urang minang”, mereka hanya mementingkan diri mereka tanpa mengindahkan tentang seni dan budaya yang mereka punya. Tri dharma perguruan tinggi menyebutkan bahwa kaum intelektual tidak hanya mengenyam pendidikan saja tetapi wajib mengabdikan diri mereka kepada masyarakat. Dalam hal ini untuk pengabdiannya kepada masyarakat bisa dengan mengangkat kembali seni dan budaya. Pada umumnya mahasiswa sekarang ini mementingkan pendidikan semata yang implikasinya adalah ingin cepat tamat, IP tinggi dan akhirnya dapat ijazah, setelah itu pengangguran.
Beberapa institusi pendidikan yang berada di Sumatra Barat tepatnya di kota Padang, sangat minim sekali program dari pihak institusi tersebut menyangkut seni dan budaya lokal ( Minangkabau ). Dapat dilihat hanya fakultas dan jurusan yang menyangkut seni dan budaya lokal mempunyai program studi ini. Di fakultas-fakultas dan jurusan yang lain tidak diberikan program studi seni dan budaya lokal sebagai contohnya adalah mata pelajaran Kebudayaan Minangkabau.perlu dipertanyakan dimana rasa memiliki itu. Nampaknya pendidikan pun berkiblat ke barat dan melupakan pendidikan berasal daerah sendiri. Di mana muka ini akan diletakkan, apabila masyarakat luar bertanya dengan seni dan budaya kita, yang dikenal “ndak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan”
Pemerintah tidak ada mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang signifikan untuk mengangkat seni dan budaya, tidak ada peraturan/kebijakan yang menyaring kebudayaan luar yang masuk ke daerah ini. Mengakibatkan kaum muda pada umumnya remaja (termasuk mahasiswa) menelan mentah-mentah kebudayaan/seni berasal dari luar itu, dengan bangga mereka katakan ini adalah trendi masa sekarang dan pada saat itu pula mereka telah mengesampingkan identitas mereka. Kalau dibilang dari segi manfaatnya sangat sedikit ditemukan. Walaupun ada, hanya segelintir saja ditemukan.
Namun seharusnya kita bertanya-tanya kepada diri kita masing-masing, apakah penyebab dari pudarnya “raso jo pareso” terhadap seni dan budaya Minangkabau yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Sudah pasti banyak manfaat tersimpan, manfaat secara sengaja di masukkan oleh pendahulu kita berangkat dari falsafah “alam takambang jadi guru”. Di satu sisi lain seni tradisi ini merupakan bagian dari khasanah kebudayaan Minangkabau Kalau kita mengadakan penelitian kepada kaum muda (mahasiswa dan remaja), sejauh mana mereka mengetahui dan memahami seni dan budaya yang mereka miliki, dapat dipastikan hasilnya adalah paling mengetahui seni yang marak berkembang sekarang, seni yang berasal dari luar. Daripada mengenal seni dan kebudayaan sendiri seperti saluang, tansa, talempong, rabab, dsb. Mungkin mereka menganggap seni tradisi ini kuno atau kolot.
Bukan masud saya menyalahkan kaum muda yang lebih mengenal seni yang berasal dari kebudayaan luar dan tidak menyalahkan seni itu sendiri akan tetapi yang penulis lihat adalah sikap dari kaum muda sebagai agent of change di masa yang akan datang lebih mengenal seni dan budaya luar. Kaum muda (mahasiswa) harus bercermin, melihat siapa?, apa?, dan bagaimana seharusnya sikap terhadap seni dan budaya tradisi Minangkabau?. Di zaman tidak liberal namun pada realitanya sangat liberal sekali akibatnya rapuhnya pondasi yang dimiliki ditambah lagi arus modrenisasi merambah “rumah indah” ini, memaksa harus mempunyai tameng yang kuat agar apa yang sudah kita miliki ini dapat bertahan.
Media massa sebagai sarana atau wadah komunikasi yang menyebarluaskan informasi-informasi adalah sebuah harapan untuk dalam proses merevitalisasikan seni dan budaya Minangkabau. Dengan mengadakan acara-acara dan informasi mengangkat citra seni dan budaya Minangkabau. Walaupun demikian pihak-pihak yang sangat penting harus juga ada program dalam proses merevitalisasikan seni tradisi, dalam hal ini pihak pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk pelajar dan mahasiswa dalam pengembangan dan mempertahankan seni dan budaya Minangkabau.
Pada dasarnya bukan dibebankan kepada kaum muda saja (pelajar dan mahasiswa) masyarakat juga sebagai penikmat seni tradisi juga sangat berperan penting. Kehidupan masyarakat saat sekarang ini memang sangat memprihatinkan akibat kebijakan politik pemerintah. Sebaliknya masyarakat yang bergelimang harta terlalu sibuk dalam paham materialismenya, tidak mementingkan hal yang seperti ini --- walaupun tidak semuanya bersifat demikian. Inilah gejala sosial ditemukan saat sekarang ini mengakibatkan bukan kaum muda saja yang bersifat tidak mau tahu kepada seni tradisi --- apatisme, sebagian masyarakat pun bersifat demikian.
Kenyataan di lapangan terdapat perkumpulan/komunitas kecil satu daerah masyarakat Minangkabau, dalam perkumpulan tersebut mereka mempunyai kelompok kesenian secara tidak langsung telah menghidupkan kembali seni tradisi. Ironis memang kelompok/persatuan satu daerah yang notabene kehidupan mereka sederhana sedangkan kaum muda (pelajar dan mahasiswa) sangat tidak antusias.
Menanggapi tulisan Indra Utama ( Padang ekspres, Minggu 25 mei 2008 ). Ekspresi seni masyarakat rumah tangga miskin kampung pasia Kabupaten Pesisir Selatan. Tulisan ini memaksa kita memeras di mana rasa mempuyai seni. Mereka (masyarakat kampung pasia ) dengan label RUMAH TANGGA MISKIN terpampang di rumah mereka, mereka tidak surut mengapresiasikan kesenian yang mereka miliki.
Dari beberapa kasus yang ditemukan dalam masyarakat sekarang, sangat signifikan pergeseran-pergeseran sikap yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Dari pergeseran sikap maupun mentalitas. Dalam kasus ini pergeseran sikap dan mentalitas sangat dominan merambah kaum muda (Pelajar dan Mahasiswa). Modernisasi dalam bidang seni, yaitu banyaknya kaum muda kita lebih mengambil hal yang baru atau yang sedang populer. Menjamurnya musik konvensional sepeti band-band dan baru-baru ini sudah berkembang “break dance” yang berisikan adalah kaum muda. Mereka sering beranggapan dengan kegiatan ini akan membuat mereka menjadi senang, mendapat hal yang baru. Memang tidak ada salahnya mengambil sesuatu baru, akan tetapi kaum muda kita ini terlalu menyibukkan diri dan langsung menyeburkan diri. Akibatnya, seni yang telah ada atau seni yang turun-temurun dari nenek moyang kita sekaligus menjadi identitas diri (Minangkabau) kalah pamor dengan hal yang baru tersebut. Kalau kita korek lebih dalam penyebabnya tidak lain tidak bukan sikap dan mental kita (kaum muda) sudah rapuh. Kerapuhan tersebut sangat mudah sekali membuat sikap dan mentalitas itu bergeser. Modern adalah produk dari bangsa barat. Kita merupakan bangsa timur hanya menjadi konsumen mereka saja. Sebagai konsumen kita memang harus pintar-pintar memilih mana yang sangat cocok dengan situasi dan kondisi seperti sekarang ini.
Apa perlu kita bertanya, kenapa harus mengutamakan kembali seni yang terdapat di negeri ini (Minangkabau). Dari beberapa fenomena yang jelas tampak di masa sekarang ini,fenomena yang memaksa kita untuk berpikir mendalam tentang arti dan manfaat seni dan budaya bagi kita semua (masyarakat Minangkabau).Tidak perlu pula penulis mengutarakan apa itu budaya Minangkabau karena walaupun sedikit banyaknya pengetahuan tentang budaya, penulis yakin masyarakat telah mengetahui. Sebenarnya membicarakan Minangkabau bukan chauvinistik atau fanatisme ke daerahan ( Hidayat. T, Sikumbang, Singgalang 11 Juni 2008).
Apakah banyak kaum muda kita yang mengetahui identitas mereka sebagai penerus seni dan budaya Minangkabau, seandainya saja banyak apa buktinya?. Dimana peran keluarga, masyarakat, lembaga adat dan pemerintah yang “menyuapkan” arti “identitas”. Seni dan budaya Minangkabau salah satu dari sekian cara untuk membangun kembali serpihan-serpihan identitas yang berserakan. Apakah keluarga ada memberi “makanan” seni dan budaya Minangkabau kepada kaum muda ?. Masyarakat dan lembaga adat ada berperan untuk memberi sedikit suapan seni dan budaya kepada kaum muda. Harapan terakhir kepada pemerintah sebagai penguasa dalam pemberi kebijakan kepada masyarakatnya ( pelajar dan mahasiswa ) untuk melestarikan seni dan budaya Minangkabau yang tercinta ini. Lebih jauh dari itu, adakah program dari pemerintah --- dalam hal ini berat kepada dinas pendidikan, memberi asupan pendidikan seni dan budaya kepada pelajar dan mahasiswa non Minangkabau. Bertujuan agar seni dan budaya ini adalah milik kita agar jangan lagi seni dan budaya kita di-paten-kan lagi. Krisis dan krisis itulah yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, penulis juga merasakan sendiri. Apakah harapan kita ( masyarakat Minangkabau ) untuk ke depannya. Seni dan budaya tradisional adalah satu dari sekian banyak hal-hal untuk membangun identitas diri kaum muda, kaum muda yang kekosongan jiwa.
Apakah karena sikap masyarakat Minangkabau sekarang ini, sikap apatisme, materilistisme, skaptisme, dsb. Mendorong masyarakat Minangkabau melakukan begitu saja melupakan kebudayaan sendiri. Secara umum daerah kita ( daerah timur ) memang daerah jajahan kolonial bangsa barat dari dulu sampai saat ini. Jajahan itu meliputi tidak hanya perekonomian, politik, seni budaya malahan masuk dalam alam pikiran masyarakat kita. Apakah pemikiran masyarakat Minangkabau memang sudah terkontaminasi dengan berbagai hal yang berbau produk barat?. Wauallahuallam.
Kandangpadati,20 juli 2008
Firman Sy Chaniago, Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas sastra Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2007
Penting Budaya Sendiri?
( Minangkabau)
Oleh: Firmansyah
Sudah sepatutnya sekarang ini segala pihak bergerak untuk merevitalisasi seni dan budaya yang kita miliki (Minangkabau). Saat ini banyak seni dan budaya tradisi menghadapi dilema, sangat sedikit dari masyarakat Minangkabau untuk mengangkat kembali seni dan budaya tradisi. Ironisnya yang menghidupkan walaupun dengan sederhana tetapi berhasil adalah kelompok atau komunitas kecil.
Mahasiswa yang dibanggakan untuk kemaslahatan bangsa dan negara nampaknya terlalu sibuk dengan sikap acuh tak acuh terhadap identitas yang di miliki sebagai “urang minang”, mereka hanya mementingkan diri mereka tanpa mengindahkan tentang seni dan budaya yang mereka punya. Tri dharma perguruan tinggi menyebutkan bahwa kaum intelektual tidak hanya mengenyam pendidikan saja tetapi wajib mengabdikan diri mereka kepada masyarakat. Dalam hal ini untuk pengabdiannya kepada masyarakat bisa dengan mengangkat kembali seni dan budaya. Pada umumnya mahasiswa sekarang ini mementingkan pendidikan semata yang implikasinya adalah ingin cepat tamat, IP tinggi dan akhirnya dapat ijazah, setelah itu pengangguran.
Beberapa institusi pendidikan yang berada di Sumatra Barat tepatnya di kota Padang, sangat minim sekali program dari pihak institusi tersebut menyangkut seni dan budaya lokal ( Minangkabau ). Dapat dilihat hanya fakultas dan jurusan yang menyangkut seni dan budaya lokal mempunyai program studi ini. Di fakultas-fakultas dan jurusan yang lain tidak diberikan program studi seni dan budaya lokal sebagai contohnya adalah mata pelajaran Kebudayaan Minangkabau.perlu dipertanyakan dimana rasa memiliki itu. Nampaknya pendidikan pun berkiblat ke barat dan melupakan pendidikan berasal daerah sendiri. Di mana muka ini akan diletakkan, apabila masyarakat luar bertanya dengan seni dan budaya kita, yang dikenal “ndak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan”
Pemerintah tidak ada mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang signifikan untuk mengangkat seni dan budaya, tidak ada peraturan/kebijakan yang menyaring kebudayaan luar yang masuk ke daerah ini. Mengakibatkan kaum muda pada umumnya remaja (termasuk mahasiswa) menelan mentah-mentah kebudayaan/seni berasal dari luar itu, dengan bangga mereka katakan ini adalah trendi masa sekarang dan pada saat itu pula mereka telah mengesampingkan identitas mereka. Kalau dibilang dari segi manfaatnya sangat sedikit ditemukan. Walaupun ada, hanya segelintir saja ditemukan.
Namun seharusnya kita bertanya-tanya kepada diri kita masing-masing, apakah penyebab dari pudarnya “raso jo pareso” terhadap seni dan budaya Minangkabau yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Sudah pasti banyak manfaat tersimpan, manfaat secara sengaja di masukkan oleh pendahulu kita berangkat dari falsafah “alam takambang jadi guru”. Di satu sisi lain seni tradisi ini merupakan bagian dari khasanah kebudayaan Minangkabau Kalau kita mengadakan penelitian kepada kaum muda (mahasiswa dan remaja), sejauh mana mereka mengetahui dan memahami seni dan budaya yang mereka miliki, dapat dipastikan hasilnya adalah paling mengetahui seni yang marak berkembang sekarang, seni yang berasal dari luar. Daripada mengenal seni dan kebudayaan sendiri seperti saluang, tansa, talempong, rabab, dsb. Mungkin mereka menganggap seni tradisi ini kuno atau kolot.
Bukan masud saya menyalahkan kaum muda yang lebih mengenal seni yang berasal dari kebudayaan luar dan tidak menyalahkan seni itu sendiri akan tetapi yang penulis lihat adalah sikap dari kaum muda sebagai agent of change di masa yang akan datang lebih mengenal seni dan budaya luar. Kaum muda (mahasiswa) harus bercermin, melihat siapa?, apa?, dan bagaimana seharusnya sikap terhadap seni dan budaya tradisi Minangkabau?. Di zaman tidak liberal namun pada realitanya sangat liberal sekali akibatnya rapuhnya pondasi yang dimiliki ditambah lagi arus modrenisasi merambah “rumah indah” ini, memaksa harus mempunyai tameng yang kuat agar apa yang sudah kita miliki ini dapat bertahan.
Media massa sebagai sarana atau wadah komunikasi yang menyebarluaskan informasi-informasi adalah sebuah harapan untuk dalam proses merevitalisasikan seni dan budaya Minangkabau. Dengan mengadakan acara-acara dan informasi mengangkat citra seni dan budaya Minangkabau. Walaupun demikian pihak-pihak yang sangat penting harus juga ada program dalam proses merevitalisasikan seni tradisi, dalam hal ini pihak pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk pelajar dan mahasiswa dalam pengembangan dan mempertahankan seni dan budaya Minangkabau.
Pada dasarnya bukan dibebankan kepada kaum muda saja (pelajar dan mahasiswa) masyarakat juga sebagai penikmat seni tradisi juga sangat berperan penting. Kehidupan masyarakat saat sekarang ini memang sangat memprihatinkan akibat kebijakan politik pemerintah. Sebaliknya masyarakat yang bergelimang harta terlalu sibuk dalam paham materialismenya, tidak mementingkan hal yang seperti ini --- walaupun tidak semuanya bersifat demikian. Inilah gejala sosial ditemukan saat sekarang ini mengakibatkan bukan kaum muda saja yang bersifat tidak mau tahu kepada seni tradisi --- apatisme, sebagian masyarakat pun bersifat demikian.
Kenyataan di lapangan terdapat perkumpulan/komunitas kecil satu daerah masyarakat Minangkabau, dalam perkumpulan tersebut mereka mempunyai kelompok kesenian secara tidak langsung telah menghidupkan kembali seni tradisi. Ironis memang kelompok/persatuan satu daerah yang notabene kehidupan mereka sederhana sedangkan kaum muda (pelajar dan mahasiswa) sangat tidak antusias.
Menanggapi tulisan Indra Utama ( Padang ekspres, Minggu 25 mei 2008 ). Ekspresi seni masyarakat rumah tangga miskin kampung pasia Kabupaten Pesisir Selatan. Tulisan ini memaksa kita memeras di mana rasa mempuyai seni. Mereka (masyarakat kampung pasia ) dengan label RUMAH TANGGA MISKIN terpampang di rumah mereka, mereka tidak surut mengapresiasikan kesenian yang mereka miliki.
Dari beberapa kasus yang ditemukan dalam masyarakat sekarang, sangat signifikan pergeseran-pergeseran sikap yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Dari pergeseran sikap maupun mentalitas. Dalam kasus ini pergeseran sikap dan mentalitas sangat dominan merambah kaum muda (Pelajar dan Mahasiswa). Modernisasi dalam bidang seni, yaitu banyaknya kaum muda kita lebih mengambil hal yang baru atau yang sedang populer. Menjamurnya musik konvensional sepeti band-band dan baru-baru ini sudah berkembang “break dance” yang berisikan adalah kaum muda. Mereka sering beranggapan dengan kegiatan ini akan membuat mereka menjadi senang, mendapat hal yang baru. Memang tidak ada salahnya mengambil sesuatu baru, akan tetapi kaum muda kita ini terlalu menyibukkan diri dan langsung menyeburkan diri. Akibatnya, seni yang telah ada atau seni yang turun-temurun dari nenek moyang kita sekaligus menjadi identitas diri (Minangkabau) kalah pamor dengan hal yang baru tersebut. Kalau kita korek lebih dalam penyebabnya tidak lain tidak bukan sikap dan mental kita (kaum muda) sudah rapuh. Kerapuhan tersebut sangat mudah sekali membuat sikap dan mentalitas itu bergeser. Modern adalah produk dari bangsa barat. Kita merupakan bangsa timur hanya menjadi konsumen mereka saja. Sebagai konsumen kita memang harus pintar-pintar memilih mana yang sangat cocok dengan situasi dan kondisi seperti sekarang ini.
Apa perlu kita bertanya, kenapa harus mengutamakan kembali seni yang terdapat di negeri ini (Minangkabau). Dari beberapa fenomena yang jelas tampak di masa sekarang ini,fenomena yang memaksa kita untuk berpikir mendalam tentang arti dan manfaat seni dan budaya bagi kita semua (masyarakat Minangkabau).Tidak perlu pula penulis mengutarakan apa itu budaya Minangkabau karena walaupun sedikit banyaknya pengetahuan tentang budaya, penulis yakin masyarakat telah mengetahui. Sebenarnya membicarakan Minangkabau bukan chauvinistik atau fanatisme ke daerahan ( Hidayat. T, Sikumbang, Singgalang 11 Juni 2008).
Apakah banyak kaum muda kita yang mengetahui identitas mereka sebagai penerus seni dan budaya Minangkabau, seandainya saja banyak apa buktinya?. Dimana peran keluarga, masyarakat, lembaga adat dan pemerintah yang “menyuapkan” arti “identitas”. Seni dan budaya Minangkabau salah satu dari sekian cara untuk membangun kembali serpihan-serpihan identitas yang berserakan. Apakah keluarga ada memberi “makanan” seni dan budaya Minangkabau kepada kaum muda ?. Masyarakat dan lembaga adat ada berperan untuk memberi sedikit suapan seni dan budaya kepada kaum muda. Harapan terakhir kepada pemerintah sebagai penguasa dalam pemberi kebijakan kepada masyarakatnya ( pelajar dan mahasiswa ) untuk melestarikan seni dan budaya Minangkabau yang tercinta ini. Lebih jauh dari itu, adakah program dari pemerintah --- dalam hal ini berat kepada dinas pendidikan, memberi asupan pendidikan seni dan budaya kepada pelajar dan mahasiswa non Minangkabau. Bertujuan agar seni dan budaya ini adalah milik kita agar jangan lagi seni dan budaya kita di-paten-kan lagi. Krisis dan krisis itulah yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, penulis juga merasakan sendiri. Apakah harapan kita ( masyarakat Minangkabau ) untuk ke depannya. Seni dan budaya tradisional adalah satu dari sekian banyak hal-hal untuk membangun identitas diri kaum muda, kaum muda yang kekosongan jiwa.
Apakah karena sikap masyarakat Minangkabau sekarang ini, sikap apatisme, materilistisme, skaptisme, dsb. Mendorong masyarakat Minangkabau melakukan begitu saja melupakan kebudayaan sendiri. Secara umum daerah kita ( daerah timur ) memang daerah jajahan kolonial bangsa barat dari dulu sampai saat ini. Jajahan itu meliputi tidak hanya perekonomian, politik, seni budaya malahan masuk dalam alam pikiran masyarakat kita. Apakah pemikiran masyarakat Minangkabau memang sudah terkontaminasi dengan berbagai hal yang berbau produk barat?. Wauallahuallam.
Kandangpadati,20 juli 2008
Firman Sy Chaniago, Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas sastra Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2007